BAGIAN I
Elis Rosliani: Salah Satu Tokoh dalam Tembang Sunda Cianjuran
Penelitian tentang tembang sunda cianjuran dari tahun ke tahun terus berkembang dengan
topik penelitian yang sangat beragam. Fenomena yang menyangkut tembang sunda cianjuran, baik dari sisi
teks maupun konteksnya telah dibahas oleh para peneliti terdahulu. Berbagai
kajian dalam bentuk laporan penelitian, skripsi, tesis, disertasi, dan
buku-buku sudah cukup memadai untuk pemenuhan kebutuhan informasi seputar tembang sunda cianjuran.
Namun, pembicaraan dari sisi pelaku atau senimannya masih jarang
ditulis. Padahal, hidup dan berkembangnya tembang
sunda cianjuran salah satunya akibat adanya kiprah seniman yang selalu
konsisten mengembangkan seni tersebut. Oleh karena itu, penelitian tentang
seniman (penembang) dari sisi biografis sangat penting.
Kajian tersebut akan dapat mengungkapkan berbagai permasalahan dalam tembang sunda cianjuran, baik dari sisi
teks maupun konteks dari perspektif senimannya. Oleh karena para penembang itu mengetahui dan memiliki
pengalaman langsung dalam dunia mereka. Tidak dapat
dipungkiri bahwa peran mereka sangat berpengaruh dalam memunculkan bibit-bibit
baru, dengan cara pewarisan, pengembangan dan pelatihan, sehingga sampai saat
ini tembang sunda cianjuran masih
memiliki banyak pewaris.
Sebelum
menentukan sosok seniman yang kiprahnya layak untuk ditulis, penulis melakukan
proses observasi awal seperti studi pustaka dan wawancara kepada beberapa
tokoh. Studi pendahuluan itu memunculkan beberapa nama, seperti Neneng Dinar, Ujang
Supriatna (Ujang Bejo) dan Elis Rosliani. Ketiganya memiliki kekhasan dan
keunikan masing-masing yang menjadi ciri khas atau kekuatan dari setiap penembang tersebut. Neneng Dinar yang
sangat menonjol dalam wanda panambih (wawancara
Wiradiredja 5 April 2017).[1] Contohnya,
ketika pasanggiri[2]
DAMAS[3]
tahun 1990, dia berhasil mempengaruhi Penonton maupun juri lewat lagu “Buah
Kawung” yang berhasil membawanya menjadi juara pertama selain dari kelima wanda yang ia bawakan saat itu. Selain itu,
ia juga membentuk sebuah padepokan seni yang bernama “Ranggon Cijagra” dan saat
ini bekerja di Disparbud Jawa Barat. Sementara itu, Ujang Supriatna merupakan penembang pria yang sangat khas dengan
karakter suara gagahnya sehingga ia sering diikutsertakan dalam berbagai acara tembang bergengsi, seperti “Parade Bentang
Sinden”, menjadi penyanyi dalam tembang bandungan, sekar anyar, dan
masih banyak lagi. Selain dari aktivitas itu, Ujang juga aktif mengurus sebuah
sanggar seni yang berada di Kabupaten Sumedang yang bernama “Gentra Pakuwon”
dan bekerja di Disparbud Sumedang. Sama dengan kedua penembang di atas, Elis juga merupakan penembang yang sudah diakui keahliannya oleh komunitas
masyarakatnya, dan ia juga sampai saat ini ikut andil dalam pengembangan
kesenian tembang sunda cianjuran melalui
sebuah pelatihan yang diadakan di rumahnya. Dari ketiga penembang di atas, Elis Rosliani dipandang memiliki keunikan
tersendiri yang membedakannya dengan penembang
yang lain, yakni kontribusinya yang sangat penting dalam pengembangan
keilmuan seni tembang sunda cianjuran berupa
penemuan sistem dongkari[4],
sehingga selain ahli nembang ia
juga mumpuni dalam keilmuan seni cianjuran.
Sistem dongkari ini memiliki
kelebihan saat digunakan, yakni sebagai metode dalam pelatihan atau pengajaran
kesenian tersebut. Simbol dongkari yang
dibuat oleh Elis sangat efektif, dapat dipahami dengan mudah sehingga asumsi
yang mengatakan bahwa mempelajari vokal tembang
cianjuran itu susah, dengan metode ini hal itu dapat terbantahkan. Hal ini
tidak dilakukan oleh para penembang lain.
Oleh karena alasan itulah dari ketiga penembang
yang menjadi sampel di atas, penulis memilih Elis Rosliani.
Alasan yang
lain penulis memilih Elis Rosliani karena ia merupakan sosok penembang yang sangat gigih. Misalnya, untuk
menjadi seorang juara dalam pasanggiri
tembang sunda cianjuran Elis Rosliani
membutuhkan waktu yang sangat panjang. Dalam proses itu banyak hal yang
dilaluinya, seperti belajar tembang kepada
beberapa tokoh, latihan sampai larut malam dan masih banyak hal menarik
lainnya. Selama 11 tahun berjuang, ia melakukannya dengan tekad yang kuat dan
sikap pantang menyerah sehingga hasilnya tidak sia-sia. Sosok ini dapat
dijadikan suri teladan bagi calon penembang
dalam hal semangat juangnya. Dampak dari kerja kerasnya itu membawanya
menjadi penembang populer setingkat
Neneng Dinar dan Ujang Supriatna.
Didikan orang tua yang mengharuskan ia belajar
nembang membuatnya terus berkiprah
dalam dunia cianjuran dimulai dengan
mengikuti acara tingkat kecamatan, kabupaten sampai ke tingkat provinsi. Eksistensinya sebagai peserta dalam berbagai pasanggiri vokal tembang sunda cianjuran menarik salah seorang seniman yaitu M.
Sobirin yang membawanya memasuki dapur rekaman untuk yang pertama kalinya.
Selain memasuki dapur rekaman, kejuaraan tersebut juga berdampak pada kiprahnya
dalam seni pertunjukan. Sebagai contoh, sebelum mengikuti pasanggiri DAMAS pementasan Elis hanya mencakupi panggung hajatan
saja, tapi setelah mengikuti acara itu dan menjadi juara ketiga ia mulai dipercaya
untuk mengisi acara di panggung-panggung besar, bahkan ia juga mendapat
kesempatan untuk pegelaran di luar negeri, dan sampai saat ini sering di undang
menjadi juri. Selain sebagai penembang,
ia juga memiliki potensi lain, seperti dalam vokal kawih, bermain peran dan gending
karesmen.[5]
Selain
menjalani profesinya sebagai guru tembang sunda cianjuran di SMKN 10
Bandung, Elis masih tetap aktif menjalani kesenimanannya dalam memberdayakan tembang
sunda cianjuran, baik melalui
pertunjukan maupun pelatihan. Konsistensi itu ia buktikan dengan melakukan
pelatihan tembang sunda cianjuran untuk
umum di kediamannya sejak tahun 1998 hingga sekarang. Kegiatan itu berhasil
membentuk murid-muridnya menjadi seorang penembang yang baik, seperti
Rosyanti, Mustika Iman, Neng Dini, Cecep Cahyana, Mutia Angansari, dan lain
sebagainya.
Selain dari
uraian di atas, keistimewaan Elis yang paling berpengaruh dan membedakannya
dengan penembang lain adalah hasil
tulisannya pada tahun 1998 yang sangat fenomenal sampai sekarang yang dampaknya
sangat besar terhadap dunia tembang sunda
cianjuran yakni penemuan simbol dongkari
seperti yang telah disinggung di awal tulisan. Penelitian yang dimulai tahun 1997 ini bermula ketika Elis sedang
menyusun skripsinya yang berjudul Teknik
Vokal A. Tjitjah dalam Tembang Sunda Cianjuran. Sehubungan dengan belum
adanya pisau bedah untuk mengkaji ornamen dalam tembang sunda cianjuran ia menggunakan istilah dongkari. Seperti disebutkan dalam skripsinya, sebagai berikut:
Menurut Koko Koswara seperti
diungkapkan oleh Sukanda dalam skripsi Sarinah (1994: 14) menyebutkan bahwa di
dalam seni suara Sunda terdapat istilah hiasan lagu. Hiasan lagu dibagi menjadi
dua bagian yaitu senggol/dongkari dan
ornamen. Yang dimaksud dengan senggol/dongkari
yaitu hiasan lagu yang sederhana yang terdapat pada setiap jenis seni suara
Sunda (1998: 41)
Dengan demikan,
dapat disimpulkan bahwa dongkari merupakan
hiasan lagu yang terdapat dalam vokal tembang
sunda cianjuran, seperti riak, gibeg,
golosor dan sebagainya.[6] Dongkari sendiri merupakan hasil
interpretasi Elis selama belajar tembang
dengan beberapa guru. Karena saat itu belum ada istilah yang baku, maka untuk
keperluan analisis, ia mengambil istilah dongkari
yang biasa digunakan oleh Euis Komariah dengan simbolnya yang ia buat
sendiri (Rosliani,
1998: 42).
Hasil penelitian
tersebut sangat terasa manfaatnya terlebih untuk perkembangan ilmu pembelajaran
vokal tembang cianjuran. Sampai saat
ini, simbol dongkari hasil karya Elis
masih dipakai sebagai rujukan untuk menganalisis lagu tembang sunda cianjuran. Bukti di lapangan juga menunjukkan bahwa
metode dongkari Elis di lingkungan
akademisi seni sudah banyak dipakai.[7]
Contoh, ketika penulis melakukan studi pustaka di Perpustakaan ISBI Bandung dan
Jurusan Karawitan, penulis menemukan fakta menarik tentang temuan Elis Rosliani
ini. Mahasiswa Jurusan Karawitan yang mengambil minat utama penyajian vokal
dalam tembang sunda cianjuran,[8] banyak
yang menjadikan hasil penelitian Elis sebagai sumber referensi seperti Ramdhani
(2004), Riksani (2004), Lutini (2004), Setiawati (2005), Kusmayadi (2005), Aryani
(2005), Herlina (2007), Cahyana (2008), Widarirawati (2008), Zakaria (2008), Agustina
(2009), Kartini (2009), Achdiyat (2009), Nurhasanah (2010), Hada (2010), Hidayat
(2011), Andrianti (2011), Sulastriyana (2012), Kadir (2012), Nurwanda (2012), Safitri
(2013), Nulhakim (2013), Sugianti (2014), Nardianti (2014), Amalia (2014), Angansari
(2014), Dewi (2015), Novyan (2015), Karlina (2015), Nafisan (2016), Nur (2016)
dan masih banyak lagi.
Hal ini membuktikan
dan menunjukkan bahwa hasil penelitian Elis tersebut memberi pengaruh besar
sehingga terjadi perubahan dalam dunia tembang
sunda cianjuran, khususnya sistem penulisan notasi cianjuran di lingkungan akademisi. Perubahan tersebut terlihat ketika tahun 1980-an, mahasiswa yang
mengambil minat utama vokal dalam tembang
sunda cianjuran pada tulisan tugas akhirnya hanya melampirkan notasi lagu
saja. Namun, setelah adanya penelitian Elis tersebut notasi lagu yang
dilampirkan dan diperjelas dengan menggunakan simbol dongkari. Selain dipakai untuk pisau bedah, dalam perkembangannya dongkari dijadikan sebagai metode
pembelajaran vokal tembang sunda
cianjuran yang dinilai cukup efektif. Maka, tidak diragukan lagi bila saat
ini Elis Rosliani disebut sebagai salah satu pakar dongkari.
Fakta-fakta
tersebut sangat menarik, dan mendorong keingintahuan penulis untuk menggali
informasi lebih dalam terkait kiprah Elis Rosliani dalam dunianya. Sosok
seniman Elis Rosliani yang multi talenta bisa diteliti dari berbagai aspek, namun
dalam penelitian ini penulis akan membatasi penelitian pada kiprah seniman Elis
Rosliani dalam dunia tembang sunda cianjuran, karena bidang lain yang
pernah ia geluti merupakan dampak dari popularitasnya sebagai penembang.
Oleh karena itu, fokus penelitian ini adalah kiprah Elis Rosliani di dalam
dunia tembang sunda cianjuran.
[1] Wanda adalah macam-macam gaya yang terdapat dalam kesenian tembang sunda cianjuran. Sedangkan Panambih adalah extra atau tambahan lagu, yang umumnya mengadopsi lagu-lagu kliningan (Wiradiredja, 2014: 135)
[2] Pasanggiri adalah perlombaan seni suara daerah atau karawitan
(Soepandi, 1988: 158).
[3] DAMAS atau lebih dikenal
dengan Daya Mahasiswa Sunda merupakan
organisasi yang rutin mengadakan pasanggiri
tembang sunda cianjuran.
[4] Dalam kamus bahasa indonsia,
sistem adalah seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga
membentuk suatu totalitas. Sehingga sistem dongakari
adalah gabungan dari berbagai unsur, seperti nama macam dongkari, simbol dan penjelasan dari setiap dongkari tersebut.
[5] Wawancara dengan Elis Rosliani
tanggal 24 Maret 2017 pukul 23.00 WIB bertempat di Komplek Bumi Langgeng
Cinunuk Bandung.
[6] Riak, gibeg dan golosor merupakan
salah satu macam dongkari yang sering
digunakan oleh Euis Komariah.
[7] Menurut kamus bahasa Indonesia
metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Sehingga metode dongkari adalah cara untuk memudahkan
pengaplikasian sistem dongkari khusunya
dalam pembelajaran.
[8] Di Jurusan Karawitan ISBI
Bandung terdapat tiga macam pilahan tugas akhir, seperti penciptaan, penulisan
dan pembawaan. Penyajian vokal dalam tembang
sunda cianjuran di atas termasuk ke dalam pilihan tugas akhir pembawaan,
yang mana mahasiswanya diharuskan membawakan beberapa lagu dalam tembang sunda cianjuran.
No comments:
Post a Comment