Search This Blog

Tuesday, November 13, 2018

Mengenal Tokoh dalam Tembang Sunda Cianjuran


BAGIAN I
Elis Rosliani: Salah Satu Tokoh dalam Tembang Sunda Cianjuran
Penelitian tentang tembang sunda cianjuran dari tahun ke tahun terus berkembang dengan topik penelitian yang sangat beragam. Fenomena yang menyangkut tembang sunda cianjuran, baik dari sisi teks maupun konteksnya telah dibahas oleh para peneliti terdahulu. Berbagai kajian dalam bentuk laporan penelitian, skripsi, tesis, disertasi, dan buku-buku sudah cukup memadai untuk pemenuhan kebutuhan informasi seputar tembang sunda cianjuran.
Namun, pembicaraan dari sisi pelaku atau senimannya masih jarang ditulis. Padahal, hidup dan berkembangnya tembang sunda cianjuran salah satunya akibat adanya kiprah seniman yang selalu konsisten mengembangkan seni tersebut. Oleh karena itu, penelitian tentang seniman (penembang) dari sisi biografis sangat penting. Kajian tersebut akan dapat mengungkapkan berbagai permasalahan dalam tembang sunda cianjuran, baik dari sisi teks maupun konteks dari perspektif senimannya. Oleh karena para penembang itu mengetahui dan memiliki pengalaman langsung dalam dunia mereka. Tidak dapat dipungkiri bahwa peran mereka sangat berpengaruh dalam memunculkan bibit-bibit baru, dengan cara pewarisan, pengembangan dan pelatihan, sehingga sampai saat ini tembang sunda cianjuran masih memiliki banyak pewaris.
Sebelum menentukan sosok seniman yang kiprahnya layak untuk ditulis, penulis melakukan proses observasi awal seperti studi pustaka dan wawancara kepada beberapa tokoh. Studi pendahuluan itu memunculkan beberapa nama, seperti Neneng Dinar, Ujang Supriatna (Ujang Bejo) dan Elis Rosliani. Ketiganya memiliki kekhasan dan keunikan masing-masing yang menjadi ciri khas atau kekuatan dari setiap penembang tersebut. Neneng Dinar yang sangat menonjol dalam wanda panambih (wawancara Wiradiredja 5 April 2017).[1] Contohnya, ketika pasanggiri[2] DAMAS[3] tahun 1990, dia berhasil mempengaruhi Penonton maupun juri lewat lagu “Buah Kawung” yang berhasil membawanya menjadi juara pertama selain dari kelima wanda yang ia bawakan saat itu. Selain itu, ia juga membentuk sebuah padepokan seni yang bernama “Ranggon Cijagra” dan saat ini bekerja di Disparbud Jawa Barat. Sementara itu, Ujang Supriatna merupakan penembang pria yang sangat khas dengan karakter suara gagahnya sehingga ia sering diikutsertakan dalam berbagai acara tembang bergengsi, seperti “Parade Bentang Sinden, menjadi penyanyi dalam tembang bandungan, sekar anyar, dan masih banyak lagi. Selain dari aktivitas itu, Ujang juga aktif mengurus sebuah sanggar seni yang berada di Kabupaten Sumedang yang bernama “Gentra Pakuwon” dan bekerja di Disparbud Sumedang. Sama dengan kedua penembang di atas, Elis juga merupakan penembang yang sudah diakui keahliannya oleh komunitas masyarakatnya, dan ia juga sampai saat ini ikut andil dalam pengembangan kesenian tembang sunda cianjuran melalui sebuah pelatihan yang diadakan di rumahnya. Dari ketiga penembang di atas, Elis Rosliani dipandang memiliki keunikan tersendiri yang membedakannya dengan penembang yang lain, yakni kontribusinya yang sangat penting dalam pengembangan keilmuan seni tembang sunda cianjuran berupa penemuan sistem dongkari[4], sehingga selain ahli nembang ia juga mumpuni dalam keilmuan seni cianjuran. Sistem dongkari ini memiliki kelebihan saat digunakan, yakni sebagai metode dalam pelatihan atau pengajaran kesenian tersebut. Simbol dongkari yang dibuat oleh Elis sangat efektif, dapat dipahami dengan mudah sehingga asumsi yang mengatakan bahwa mempelajari vokal tembang cianjuran itu susah, dengan metode ini hal itu dapat terbantahkan. Hal ini tidak dilakukan oleh para penembang lain. Oleh karena alasan itulah dari ketiga penembang yang menjadi sampel di atas, penulis memilih Elis Rosliani.
Alasan yang lain penulis memilih Elis Rosliani karena ia merupakan sosok penembang yang sangat gigih. Misalnya, untuk menjadi seorang juara dalam pasanggiri tembang sunda cianjuran Elis Rosliani membutuhkan waktu yang sangat panjang. Dalam proses itu banyak hal yang dilaluinya, seperti belajar tembang kepada beberapa tokoh, latihan sampai larut malam dan masih banyak hal menarik lainnya. Selama 11 tahun berjuang, ia melakukannya dengan tekad yang kuat dan sikap pantang menyerah sehingga hasilnya tidak sia-sia. Sosok ini dapat dijadikan suri teladan bagi calon penembang dalam hal semangat juangnya. Dampak dari kerja kerasnya itu membawanya menjadi penembang populer setingkat Neneng Dinar dan Ujang Supriatna.
 Didikan orang tua yang mengharuskan ia belajar nembang membuatnya terus berkiprah dalam dunia cianjuran dimulai dengan mengikuti acara tingkat kecamatan, kabupaten sampai ke tingkat provinsi. Eksistensinya sebagai peserta dalam berbagai pasanggiri vokal tembang sunda cianjuran menarik salah seorang seniman yaitu M. Sobirin yang membawanya memasuki dapur rekaman untuk yang pertama kalinya. Selain memasuki dapur rekaman, kejuaraan tersebut juga berdampak pada kiprahnya dalam seni pertunjukan. Sebagai contoh, sebelum mengikuti pasanggiri DAMAS pementasan Elis hanya mencakupi panggung hajatan saja, tapi setelah mengikuti acara itu dan menjadi juara ketiga ia mulai dipercaya untuk mengisi acara di panggung-panggung besar, bahkan ia juga mendapat kesempatan untuk pegelaran di luar negeri, dan sampai saat ini sering di undang menjadi juri. Selain sebagai penembang, ia juga memiliki potensi lain, seperti dalam vokal kawih, bermain peran dan gending karesmen.[5]
Selain menjalani profesinya sebagai guru tembang sunda cianjuran di SMKN 10 Bandung, Elis masih tetap aktif menjalani kesenimanannya dalam memberdayakan tembang sunda cianjuran, baik melalui pertunjukan maupun pelatihan. Konsistensi itu ia buktikan dengan melakukan pelatihan tembang sunda cianjuran untuk umum di kediamannya sejak tahun 1998 hingga sekarang. Kegiatan itu berhasil membentuk murid-muridnya menjadi seorang penembang yang baik, seperti Rosyanti, Mustika Iman, Neng Dini, Cecep Cahyana, Mutia Angansari, dan lain sebagainya.
Selain dari uraian di atas, keistimewaan Elis yang paling berpengaruh dan membedakannya dengan penembang lain adalah hasil tulisannya pada tahun 1998 yang sangat fenomenal sampai sekarang yang dampaknya sangat besar terhadap dunia tembang sunda cianjuran yakni penemuan simbol dongkari seperti yang telah disinggung di awal tulisan. Penelitian yang dimulai tahun 1997 ini bermula ketika Elis sedang menyusun skripsinya yang berjudul Teknik Vokal A. Tjitjah dalam Tembang Sunda Cianjuran. Sehubungan dengan belum adanya pisau bedah untuk mengkaji ornamen dalam tembang sunda cianjuran ia menggunakan istilah dongkari. Seperti disebutkan dalam skripsinya, sebagai berikut:
Menurut Koko Koswara seperti diungkapkan oleh Sukanda dalam skripsi Sarinah (1994: 14) menyebutkan bahwa di dalam seni suara Sunda terdapat istilah hiasan lagu. Hiasan lagu dibagi menjadi dua bagian yaitu senggol/dongkari dan ornamen. Yang dimaksud dengan senggol/dongkari yaitu hiasan lagu yang sederhana yang terdapat pada setiap jenis seni suara Sunda (1998: 41)
Dengan demikan, dapat disimpulkan bahwa dongkari merupakan hiasan lagu yang terdapat dalam vokal tembang sunda cianjuran, seperti riak, gibeg, golosor dan sebagainya.[6] Dongkari sendiri merupakan hasil interpretasi Elis selama belajar tembang dengan beberapa guru. Karena saat itu belum ada istilah yang baku, maka untuk keperluan analisis, ia mengambil istilah dongkari yang biasa digunakan oleh Euis Komariah dengan simbolnya yang ia buat sendiri (Rosliani, 1998: 42).
Hasil penelitian tersebut sangat terasa manfaatnya terlebih untuk perkembangan ilmu pembelajaran vokal tembang cianjuran. Sampai saat ini, simbol dongkari hasil karya Elis masih dipakai sebagai rujukan untuk menganalisis lagu tembang sunda cianjuran. Bukti di lapangan juga menunjukkan bahwa metode dongkari Elis di lingkungan akademisi seni sudah banyak dipakai.[7] Contoh, ketika penulis melakukan studi pustaka di Perpustakaan ISBI Bandung dan Jurusan Karawitan, penulis menemukan fakta menarik tentang temuan Elis Rosliani ini. Mahasiswa Jurusan Karawitan yang mengambil minat utama penyajian vokal dalam tembang sunda cianjuran,[8] banyak yang menjadikan hasil penelitian Elis sebagai sumber referensi seperti Ramdhani (2004), Riksani (2004), Lutini (2004), Setiawati (2005), Kusmayadi (2005), Aryani (2005), Herlina (2007), Cahyana (2008), Widarirawati (2008), Zakaria (2008), Agustina (2009), Kartini (2009), Achdiyat (2009), Nurhasanah (2010), Hada (2010), Hidayat (2011), Andrianti (2011), Sulastriyana (2012), Kadir (2012), Nurwanda (2012), Safitri (2013), Nulhakim (2013), Sugianti (2014), Nardianti (2014), Amalia (2014), Angansari (2014), Dewi (2015), Novyan (2015), Karlina (2015), Nafisan (2016), Nur (2016) dan masih banyak lagi.
Hal ini membuktikan dan menunjukkan bahwa hasil penelitian Elis tersebut memberi pengaruh besar sehingga terjadi perubahan dalam dunia tembang sunda cianjuran, khususnya sistem penulisan notasi cianjuran di lingkungan akademisi. Perubahan tersebut terlihat ketika tahun 1980-an, mahasiswa yang mengambil minat utama vokal dalam tembang sunda cianjuran pada tulisan tugas akhirnya hanya melampirkan notasi lagu saja. Namun, setelah adanya penelitian Elis tersebut notasi lagu yang dilampirkan dan diperjelas dengan menggunakan simbol dongkari. Selain dipakai untuk pisau bedah, dalam perkembangannya dongkari dijadikan sebagai metode pembelajaran vokal tembang sunda cianjuran yang dinilai cukup efektif. Maka, tidak diragukan lagi bila saat ini Elis Rosliani disebut sebagai salah satu pakar dongkari.
Fakta-fakta tersebut sangat menarik, dan mendorong keingintahuan penulis untuk menggali informasi lebih dalam terkait kiprah Elis Rosliani dalam dunianya. Sosok seniman Elis Rosliani yang multi talenta bisa diteliti dari berbagai aspek, namun dalam penelitian ini penulis akan membatasi penelitian pada kiprah seniman Elis Rosliani dalam dunia tembang sunda cianjuran, karena bidang lain yang pernah ia geluti merupakan dampak dari popularitasnya sebagai penembang. Oleh karena itu, fokus penelitian ini adalah kiprah Elis Rosliani di dalam dunia tembang sunda cianjuran.


[1] Wanda adalah macam-macam gaya yang terdapat dalam kesenian tembang sunda cianjuran. Sedangkan Panambih adalah extra atau tambahan lagu, yang umumnya mengadopsi lagu-lagu kliningan (Wiradiredja, 2014: 135)
[2] Pasanggiri adalah perlombaan seni suara daerah atau karawitan (Soepandi, 1988: 158).
[3] DAMAS atau lebih dikenal dengan Daya Mahasiswa Sunda  merupakan organisasi yang rutin mengadakan pasanggiri tembang sunda cianjuran.
[4] Dalam kamus bahasa indonsia, sistem adalah seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Sehingga sistem dongakari adalah gabungan dari berbagai unsur, seperti nama macam dongkari, simbol dan penjelasan dari setiap dongkari tersebut.
[5] Wawancara dengan Elis Rosliani tanggal 24 Maret 2017 pukul 23.00 WIB bertempat di Komplek Bumi Langgeng Cinunuk Bandung.
[6] Riak, gibeg dan golosor merupakan salah satu macam dongkari yang sering digunakan oleh Euis Komariah.
[7] Menurut kamus bahasa Indonesia metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Sehingga metode dongkari adalah cara untuk memudahkan pengaplikasian sistem dongkari khusunya dalam pembelajaran.
[8] Di Jurusan Karawitan ISBI Bandung terdapat tiga macam pilahan tugas akhir, seperti penciptaan, penulisan dan pembawaan. Penyajian vokal dalam tembang sunda cianjuran di atas termasuk ke dalam pilihan tugas akhir pembawaan, yang mana mahasiswanya diharuskan membawakan beberapa lagu dalam tembang sunda cianjuran.